UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a.
bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil
maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b.
bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan
dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan;
c. bahwa
sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan
ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peransertanya
dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan;
d.
bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak
dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa
diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha;
e. bahwa
beberapa undang-undang di bidang ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai
lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan, oleh karena itu
perlu dicabut dan/atau ditarik kembali;
f.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, c, d, dan
e perlu membentuk Undang-undang tentang Ketenagakerjaan.
Mengingat:
Pasal 5 ayat
(1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang
-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ketenagakerjaan
adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum,
selama, dan sesudah masa kerja.
2. Tenaga
kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat.
3. Pekerja/buruh
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
4. Pemberi
kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan
lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
5.
Pengusaha adalah:
a.
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c.
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan
di luar wilayah Indonesia.
6.
Perusahaan adalah:
a.
setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,
milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain;
b.
usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
7. Perencanaan
tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis
yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan
program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
8. Informasi
ketenagakerjaan adalah gabungan, rangkaian, dan analisis data yang berbentuk
angka yang telah diolah, naskah dan dokumen yang mempunyai arti, nilai dan
makna tertentu mengenai ketenagakerjaan.
9. Pelatihan
kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan,
serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos
kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan
kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
10. Kompetensi
kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan,
keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
11. Pemagangan
adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu
antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah
bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih
berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam
rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.
12. Pelayanan
penempatan tenaga kerja adalah kegiatan untuk mempertemukan tenaga kerja dengan
pemberi kerja, sehingga tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuannya, dan pemberi kerja dapat memperoleh
tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhannya.
13. Tenaga
kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di
wilayah Indonesia.
14.
Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak
15.
Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
16.
Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para
pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur
pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
17.
Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan,
membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
18.
Lembaga kerja sama bipartit adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang
anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah
tercatat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur
pekerja/buruh.
19.
Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah
tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi
pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.
20.
Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
21.
Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan
antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat
buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha
yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
22.
Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak,
perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
23.
Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan
secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk
menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
24.
Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak pekerja/buruh
seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.
25.
Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh
dan pengusaha.
26.
Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.
27.
Siang hari adalah waktu antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00.
28.
1 (satu) hari adalah waktu selama 24 (dua puluh empat) jam.
29.
Seminggu adalah waktu selama 7 (tujuh) hari.
30. Upah adalah hak
pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan
dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas
suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
31. Kesejahteraan
pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat
jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang
secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja
dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.
32. Pengawasan
ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
33. Menteri adalah
menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 2
Pembangunan
ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Pembangunan
ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi
fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
Pasal 4
Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan:
a.
memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
b.
mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai
dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c.
memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
d.
meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
BAB III
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA
Pasal 5
Setiap
tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh
pekerjaan.
Pasal 6
Setiap
pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari
pengusaha.
BAB IV
PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN
INFORMASI KETENAGAKERJAAN
Pasal 7
(1)
Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan dan
menyusun perencanaan tenaga kerja.
(2)
Perencanaan tenaga kerja meliputi:
a.
perencanaan tenaga kerja makro; dan
b.
perencanaan tenaga kerja mikro.
(3)
Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan
ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada
perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 8
(1)
Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang
antara lain meliputi:
a.
penduduk dan tenaga kerja;
b.
kesempatan kerja;
c.
pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;
d.
produktivitas tenaga kerja;
e.
hubungan industrial;
f.
kondisi lingkungan kerja;
g.
pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
h.
jaminan sosial tenaga kerja.
(2)
Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperoleh dari
semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta.
(3)
Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan
penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PELATIHAN KERJA
Pasal 9
PELATIHAN KERJA
Pasal 9
Pelatihan
kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan
mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan.
Pasal 10
(1)
Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan
dunia usaha, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2)
Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada
standar kompetensi kerja.
(3)
Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang.
(4)
Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 11
Setiap
tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau
mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya
melalui pelatihan kerja.
Pasal 12
(1) Pengusaha bertanggung jawab atas
peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi pekerjanya melalui pelatihan
kerja.
Pasal 12
(2)
Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 12
(3) Setiap
pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja
sesuai dengan bidang tugasnya.
Pasal 13
(1)
Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah
dan/atau lembaga pelatihan kerja swasta.
(2) Pelatihan
kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja.
(3) Lembaga
pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.
Pasal 14
(1)
Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau
perorangan.
(2)
Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
(3) Lembaga
pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah mendaftarkan
kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
kabupaten/kota.
(4)
Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 15
Penyelenggara
pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan:
a. tersedianya tenaga kepelatihan;
b. adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan;
c. tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan
d. tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja.
a. tersedianya tenaga kepelatihan;
b. adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan;
c. tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan
d. tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja.
Pasal 16
(1)
Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga pelatihan
kerja pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh akreditasi dari lembaga
akreditasi.
(2)
Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen
terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
(3)
Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 17
(1)
Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota
dapat menghentikan sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja,
apabila di dalam pelaksanaannya ternyata:
a.
tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;
dan/atau
b.
tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2)
Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), disertai alasan dan saran perbaikan dan berlaku paling
lama 6 (enam) bulan.
(3)
Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja hanya
dikenakan terhadap program pelatihan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 15.
(4)
Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi
dan melengkapi saran perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan
sanksi penghentian program pelatihan.
(5)
Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan program
pelatihan kerja yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dikenakan sanksi pencabutan izin dan pembatalan pendaftaran penyelenggara
pelatihan.
(6)
Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara, penghentian, pencabutan
izin, dan pembatalan pendaftaran diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 18
(1)
Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti
pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah,
lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja.
(2)
Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
sertifikasi kompetensi kerja.
(3)
Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat pula
diikuti oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman.
(4)
Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional
sertifikasi profesi yang independen.
(5)
Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Pelatihan
kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan
jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang
bersangkutan.
Pasal 20
(1)
Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka pembangunan
ketenagakerjaan, dikembangkan satu sistem pelatihan kerja nasional yang
merupakan acuan pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang dan/atau sektor.
(2)
Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan sistem pelatihan kerja
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
Pelatihan
kerja dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan.
Pasal 22
(1)
Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta dengan
pengusaha yang dibuat secara tertulis.
(2)
Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya
memuat ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pengusaha serta jangka waktu
pemagangan.
(3)
Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dianggap tidak sah dan status peserta berubah menjadi
pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 23
Tenaga kerja
yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi
kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.
Pasal 24
Pemagangan
dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan
pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah
Indonesia.
Pasal 25
(1)
Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin dari
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Untuk
memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara pemagangan
harus berbentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan
mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 26
(1)
Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia harus memperhatikan:
a.
harkat dan martabat bangsa Indonesia;
b.
penguasaan kompetensi yang lebih tinggi; dan
c.
perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk melaksanakan
ibadahnya.
(2)
Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan pelaksanaan pemagangan di
luar wilayah Indonesia apabila di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 27
(1) Menteri
dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan untuk melaksanakan
program pemagangan.
(2) Dalam
menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri harus
memperhatikan kepentingan perusahaan, masyarakat, dan negara.
Pasal 28
(1)
Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan serta
melakukan koordinasi pelatihan kerja dan pemagangan dibentuk lembaga koordinasi
pelatihan kerja nasional.
(2)
Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 29
(1)
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan pelatihan kerja
dan pemagangan.
(2)
Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke arah peningkatan
relevansi, kualitas, dan efisiensi penyelenggaraan pelatihan kerja dan
produktivitas.
(3)
Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan melalui
pengembangan budaya produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi kegiatan
ekonomi, menuju terwujudnya produktivitas nasional.
Pasal 30
(1)
Untuk meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
dibentuk lembaga produktivitas yang bersifat nasional.
(2)
Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk jejaring
kelembagaan pelayanan peningkatan produktivitas, yang bersifat lintas sektor
maupun daerah.
(3)
Pembentukan, keanggotan, dan tata kerja lembaga produktivitas nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB VI
PENEMPATAN TENAGA KERJA
PENEMPATAN TENAGA KERJA
Pasal 31
Setiap
tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan,
atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di
luar negeri.
Pasal 32
(1)
Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif,
serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
(2)
Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang
tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan
memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
(3)
Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan
kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan
daerah.
Pasal 33
Penempatan
tenaga kerja terdiri dari:
a.
penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan
b.
penempatan tenaga kerja di luar negeri.
Pasal 34
Ketentuan
mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang.
asal 35
(1)
Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja
yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.
(2)
Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja
(3)
Pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga
kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan,
dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.
Pasal 36
(1)
Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat
(1) dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan tenaga kerja.
(2)
Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat
terpadu dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi unsur-unsur:
a.
pencari kerja;
b.
lowongan pekerjaan;
c.
informasi pasar kerja;
d.
mekanisme antar kerja; dan
e.
kelembagaan penempatan tenaga kerja.
(3)
Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk terwujudnya penempatan
tenaga kerja.
Pasal 37
(1)
Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1)
terdiri dari:
a.
instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan
b.
lembaga swasta berbadan hukum.
(2)
Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki izin
tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 38
(1)
Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)
huruf a, dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung maupun tidak
langsung, sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga
kerja.
(2)
Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(1) huruf b, hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga kerja dari pengguna
tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu.
(3)
Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
BAB VII
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
Pasal 39
(1)
Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja.
(2)
Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan perluasan kesempatan kerja
baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
(3)
Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di setiap sektor diarahkan
untuk mewujudkan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar
hubungan kerja.
(4)
Lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan, dan dunia usaha perlu
membantu dan memberikan kemudahan bagi setiap kegiatan masyarakat yang dapat
menciptakan atau mengembangkan perluasan kesempatan kerja.
Pasal 40
(1) Perluasan
kesempatan kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui penciptaan kegiatan
yang produktif dan berkelanjutan dengan mendayagunakan potensi sumber daya
alam, sumber daya manusia dan teknologi tepat guna.
(2) Penciptaan
perluasan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja mandiri, penerapan sistem padat
karya, penerapan teknologi tepat guna, dan pendayagunaan tenaga kerja sukarela
atau pola lain yang dapat mendorong terciptanya perluasan kesempatan kerja.
Pasal 41
(1) Pemerintah
menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan kesempatan kerja.
(2) Pemerintah
dan masyarakat bersama-sama mengawasi pelaksanaan kebijakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3)
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibentuk
badan koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
(4)
Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan pembentukan badan koordinasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam pasal ini
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING
Pasal 42
(1)
Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin
tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2)
Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.
(3)
Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku bagi
perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik
dan konsuler.
(4)
Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja
untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.
(5)
Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(6)
Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang masa kerjanya habis
dan tidak dapat diperpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya.
Pasal 43
(1)
Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana
penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
(2)
Rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat keterangan:
a.
alasan penggunaan tenaga kerja asing;
b.
jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi
perusahaan yang bersangkutan;
c.
jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan
d.
penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja
asing yang dipekerjakan.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi istansi
pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing.
(4)
Ketentuan mengenai tata cara pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 44
(1)
Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan
standar kompetensi yang berlaku.
(2)
Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 45
(1)
Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib:
a. menunjuk
tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja
asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga
kerja asing; dan
b. melaksanakan
pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud
pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga
kerja asing.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kerja
asing yang menduduki jabatan direksi dan/atau komisaris.
Pasal 46
(1)
Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia
dan/atau jabatan-jabatan tertentu.
(2)
Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri
Pasal 47
(1)
Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang
dipekerjakannya.
(2)
Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional,
lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga
pendidikan.
(3)
Ketentuan mengenai jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
(4)
Ketentuan mengenai besarnya kompensasi dan penggunaannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
Pemberi
kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memulangkan tenaga kerja
asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.
Pasal 49
Ketentuan
mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta pelaksanaan pendidikan dan
pelatihan tenaga kerja pendamping diatur dengan Keputusan Presiden.
BAB IX
HUBUNGAN KERJA
HUBUNGAN KERJA
Pasal 50
Hubungan
kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh.
Pasal 51
(1) Perjanjian kerja dibuat secara
tertulis atau lisan.
(2) Perjanjian kerja yang
dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 52
(1)
Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
a.
kesepakatan kedua belah pihak;
b.
kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c.
adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d.
pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
(3)
Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.
Pasal 53
Segala hal
dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja
dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.
Pasal 54
(1)
Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat:
a.
nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b.
nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c.
jabatan atau jenis pekerjaan;
d.
tempat pekerjaan;
e.
besarnya upah dan cara pembayarannya;
f.
syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/ buruh;
g.
mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h.
tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i.
tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
(2)
Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan
f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya
rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh
dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.
Pasal 55
Perjanjian
kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan
para pihak.
Pasal 56
(1)
Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
(2)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan atas:
a.
jangka waktu; atau
b.
selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Pasal 57
(1)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus
menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
(2)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sebagai
perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
(3)
Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing,
apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang
berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Pasal 58
(1)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa
percobaan kerja.
(2)
Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.
Pasal 59
(1)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan
tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai
dalam waktu tertentu, yaitu:
a.
pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b.
pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c.
pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d.
pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat tetap.
(3)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4)
Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu
dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1
(satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(5)
Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu
tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu
berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh
yang bersangkutan.
(6)
Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi
masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu
tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh
dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
(7)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi
hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8)
Hal-hal lain yang belum diatur dalam pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 60
(1)
Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan
kerja paling lama 3 (tiga) bulan.
(2)
Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha
dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.
Pasal 61
(1)
Perjanjian kerja berakhir apabila:
a.
pekerja meninggal dunia;
b.
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c.
adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
atau
d.
adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja.
(2)
Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya
hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.
(3)
Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi
tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian
pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.
(4)
Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha
dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.
(5)
Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak
mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 62
Apabila
salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya
hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat
(1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada
pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka
waktu perjanjian kerja.
Pasal 63
(1)
Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka
pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang
bersangkutan.
(2)
Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang- kurangnya
memuat keterangan:
a.
nama dan alamat pekerja/buruh;
b.
tanggal mulai bekerja;
c.
jenis pekerjaan; dan
d.
besarnya upah.
Pasal 64
Perusahaan
dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh
yang dibuat secara tertulis.
Pasal 65
(1)
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
(2)
Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.
dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b.
dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c.
merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d.
tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3)
Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan hukum.
(4)
Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan
atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5)
Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6)
Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan
pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(7)
Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat didasarkan atas
perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu
apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8)
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), tidak
terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan
perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh
dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(9)
Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi
pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
Pasal 66
(1)
Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan
oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
(2)
Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a.
adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh;
b.
perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada
huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak
tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c.
perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan
yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan
d.
perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain
yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara
tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
ini.
(3)
Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan
memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4)
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf
b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan
kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih
menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
BAB X
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN
KESEJAHTERAAN
Bagian Kesatu
Perlindungan
Paragraf 1
Penyandang Cacat
Pasal 67
(1)
Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan
perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
(2)
Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf 2
Anak
Pasal 68
Pengusaha
dilarang mempekerjakan anak.
Pasal 69
(1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak
berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk
melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan
kesehatan fisik, mental, dan sosial.
(2)
Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a.
izin tertulis dari orang tua atau wali;
b.
perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c.
waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d.
dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e.
keselamatan dan kesehatan kerja;
f.
adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g.
menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, b, f dan g dikecualikan
bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.
Pasal 70
(1)
Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari
kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(2)
Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas)
tahun.
(3)
Pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat:
a.
diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan
dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
b.
diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Pasal 71
(1)
Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
(2)
Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi syarat:
a.
di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
b.
waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
c.
kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental,
sosial, dan waktu sekolah.
(3)
Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan
bakat dan minat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 72
Dalam hal
anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja
anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.
Pasal 73
Anak
dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya.
Pasal 74
(1)
Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan
yang terburuk.
(2)
Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
b.
segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran,
produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;
c.
segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk
produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya; dan/atau
d.
semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.
(3)
Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral
anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 75
(1)
Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di
luar hubungan kerja.
(2)
Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Paragraf 3
Perempuan
Pasal 76
(1)
Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun
dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 s.d. 07.00.
(2)
Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan
dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya
apabila bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul 07.00.
(3)
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 s.d.
pukul 07.00 wajib:
a.
memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b.
menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
(4)
Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan
yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 s.d. pukul 05.00.
(5)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Paragraf 4
Waktu Kerja
Waktu Kerja
Pasal 77
(1)
Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
(2)
Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6
(enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b.
8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5
(lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3)
Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi
sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4)
Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 78
(1)
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat:
a.
ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b.
waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1
(satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2)
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
(3)
Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak
berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4)
Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 79
(1)
Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.
(2)
Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a.
istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja
selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk
jam kerja;
b.
istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c.
cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara
terus menerus; dan
d.
istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun
ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang
telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang
sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat
tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap
kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
(3)
Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama.
(4)
Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d hanya berlaku
bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
(5)
Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 80
Pengusaha
wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk
melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
Pasal 81
(1)
Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan
kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu
haid.
(2)
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 82
(1)
Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah)
bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah
melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
(2)
Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh
istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter
kandungan atau bidan.
Pasal 83
Pekerja/buruh
perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk
menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Pasal 84
Setiap
pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat
upah penuh.
Pasal 85
(1)
Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.
(2)
Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur
resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau
dijalankan secara terus-menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan
antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
(3)
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari
libur resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membayar upah kerja
lembur.
(4)
Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Paragraf 5
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pasal 86
(1)
Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
a.
keselamatan dan kesehatan kerja;
b.
moral dan kesusilaan; dan
c.
perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai
agama.
(2)
Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja
yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
(3)
Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 87
(1) Setiap perusahaan wajib
menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi
dengan sistem manajemen perusahaan.
(2) Ketentuan mengenai penerapan
sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengupahan
Pengupahan
Pasal 88
(1) Setiap pekerja/buruh berhak
memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(2) Untuk mewujudkan penghasilan
yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi
pekerja/buruh.
(3) Kebijakan pengupahan yang
melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a.
upah minimum;
b.
upah kerja lembur;
c.
upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d.
upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e.
upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f.
bentuk dan cara pembayaran upah;
g.
denda dan potongan upah;
h.
hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i.
struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j.
upah untuk pembayaran pesangon; dan
k.
upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
(4) Pemerintah menetapkan upah
minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup
layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Pasal 89
(1)
Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri
atas:
a.
upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
b.
upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
(2)
Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan kepada pencapaian
kebutuhan hidup layak.
(3)
Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan
memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau
Bupati/Walikota.
(4)
Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 90
(1)
Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89.
(2)
Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.
(3)
Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 91
(1)
Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari
ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih rendah atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi
hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 92
(1)
Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan,
jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
(2)
Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan
kemampuan perusahaan dan produktivitas.
(3)
Ketentuan mengenai struktur dan skala upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 93
(1)
Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib
membayar upah apabila:
a.
pekerja/buruh sakit termasuk pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari
pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b.
pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan,
mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran
kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua
atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
c.
pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan
kewajiban terhadap negara;
d.
pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang
diperintahkan agamanya;
e.
pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi
pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan
yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
f.
pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
g.
pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan
pengusaha; dan
h.
pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
(3)
Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a sebagai berikut:
a.
untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;
b.
untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari
upah;
c.
untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah;
dan
d.
untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah
sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
(4)
Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b sebagai berikut:
a.
pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
b.
menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
c.
mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
d.
membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
e.
isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
f.
suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar
untuk selama 2 (dua) hari; dan
g.
anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1
(satu) hari.
(5)
Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 94
Dalam hal
komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah
pokok sedikit-dikitnya 75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah
pokok dan tunjangan tetap.
Pasal 95
(1)
Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau
kelalaiannya dapat dikenakan denda.
(2)
Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan
pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah
pekerja/buruh.
(3)
Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh,
dalam pembayaran upah.
(4)
Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari
pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
Pasal 96
Tuntutan
pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan
kerja menjadi kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak
timbulnya hak.
Pasal 97
(1) Ketentuan mengenai penghasilan
yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup layak, dan perlindungan
pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, penetapan upah minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan pengenaan denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(2) Dalam hal di perusahaan yang
bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh maka wakil
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengurus serikat
pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal di perusahaan yang
bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, wakil pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pekerja/buruh yang dipilih secara
demokratis untuk mewakili kepentingan para pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan.
Pasal 98
(1) Untuk memberikan saran,
pertimbangan, dan merumuskan kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh
pemerintah, serta untuk pengembangan sistem pengupahan nasional dibentuk Dewan
Pengupahan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari unsur pemerintah, organisasi
pengusaha, serikat pekerja/-serikat buruh, perguruan tinggi, dan pakar.
(3) Keanggotaan Dewan Pengupahan
tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan
keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota diangkat dan
diberhentikan oleh Gubenur/ Bupati/Walikota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara
pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara pengangkatan dan pemberhentian
keanggotaan, serta tugas dan tata kerja Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Presiden.
Bagian Ketiga
Kesejahteraan
Pasal 99
Kesejahteraan
Pasal 99
(1) Setiap pekerja/buruh dan
keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.
(2) Jaminan sosial tenaga kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 100
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan
bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib menyediakan fasilitas
kesejahteraan.
(2) Penyediaan fasilitas
kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan dengan
memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan.
(3) Ketentuan mengenai jenis dan
kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan pekerja/buruh dan
ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 101
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan
pekerja/buruh, dibentuk koperasi pekerja/buruh dan usaha-usaha produktif di
perusahaan.
(2) Pemerintah, pengusaha, dan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh berupaya menumbuhkembangkan
koperasi pekerja/buruh, dan mengembangkan usaha produktif sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
(3) Pembentukan koperasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
(4) Upaya-upaya untuk
menumbuhkembangkan koperasi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 102
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 102
(1) Dalam melaksanakan hubungan
industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan
pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap
pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
(2) Dalam melaksanakan hubungan
industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruhnya mempunyai fungsi
menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi
kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan
keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan
memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
(3) Dalam melaksanakan hubungan
industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan
kemitraan, mengembang-kan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan
kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.
Pasal 103
Hubungan Industrial dilaksanakan
melalui sarana: a. serikat pekerja/serikat buruh; b. organisasi pengusaha; c.
lembaga kerja sama bipartit; d. lembaga kerja sama tripartit; e. peraturan
perusahaan; f. perjanjian kerja bersama; g. peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan; dan h. lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Bagian Kedua
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 104
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 104
(1) Setiap pekerja/buruh berhak
membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam melaksanakan fungsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat pekerja/serikat buruh berhak
menghimpun dan mengelola keuangan serta mempertanggungjawabkan keuangan
organisasi termasuk dana mogok.
(3) Besarnya dan tata cara
pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dalam anggaran
dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan.
Bagian Ketiga
Organisasi Pengusaha
Pasal 105
Organisasi Pengusaha
Pasal 105
(1) Setiap pengusaha berhak
membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha
(2) Ketentuan mengenai organisasi
pengusaha diatur sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Lembaga Kerja Sama Bipartit
Pasal 106
Lembaga Kerja Sama Bipartit
Pasal 106
(1) Setiap perusahaan yang
mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/ buruh atau lebih wajib membentuk
lembaga kerja sama bipartit.
(2) Lembaga kerja sama bipartit
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi sebagai forum komunikasi, dan
konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan.
(3) Susunan keanggotaan lembaga
kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari unsur
pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara
demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara
pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Kelima
Lembaga Kerja Sama Tripartit
Pasal 107
Lembaga Kerja Sama Tripartit
Pasal 107
(1) Lembaga kerja sama tripartit
memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihak
terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan.
(2) Lembaga Kerja sama Tripartit
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari:
a. Lembaga
Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota; dan
b. Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
b. Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(3) Keanggotaan Lembaga Kerja sama
Tripartit terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat
pekerja/serikat buruh.
(4) Tata kerja dan susunan
organisasi Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Peraturan Perusahaan
Pasal 108
Peraturan Perusahaan
Pasal 108
(1) Pengusaha yang mempekerjakan
pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan
perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
(2) Kewajiban membuat peraturan
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi perusahaan
yang telah memiliki perjanjian kerja bersama.
Pasal 109
Peraturan
perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang
bersangkutan.
Pasal 110
(1) Peraturan perusahaan disusun
dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di
perusahaan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di perusahaan yang
bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh maka wakil
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pengurus serikat
pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal di perusahaan yang
bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, wakil pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pekerja/buruh yang dipilih secara
demokratis untuk mewakili kepentingan para pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan.
Pasal 111
(1) Peraturan perusahaan
sekurang-kurangnya memuat:
a.
hak dan kewajiban pengusaha;
b.
hak dan kewajiban pekerja/buruh;
c.
syarat kerja;
d.
tata tertib perusahaan; dan
e.
jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
(2) Ketentuan dalam peraturan
perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Masa berlaku peraturan
perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa
berlakunya.
(4) Selama masa berlakunya peraturan
perusahaan, apabila serikat pekerja/ serikat buruh di perusahaan menghendaki
perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama, maka pengusaha wajib melayani.
(5) Dalam hal perundingan pembuatan
perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak mencapai
kesepakatan, maka peraturan perusahaan tetap berlaku sampai habis jangka waktu
berlakunya.
Pasal 112
(1) Pengesahan peraturan perusahaan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108
ayat (1) harus sudah diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak naskah peraturan perusahaan diterima.
(2) Apabila peraturan perusahaan
telah sesuai sebagaimana ketentuan dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2), maka
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah
terlampaui dan peraturan perusahaan belum disahkan oleh Menteri atau pejabat
yang ditunjuk, maka peraturan perusahaan dianggap telah mendapatkan pengesahan.
(3) Dalam hal peraturan perusahaan
belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) dan
ayat (2) Menteri atau pejabat yang ditunjuk harus memberitahukan secara
tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan perusahaan.
(4) Dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari kerja sejak tanggal pemberitahuan diterima oleh pengusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengusaha wajib menyampaikan kembali
peraturan perusahaan yang telah diperbaiki kepada Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
Pasal 113
(1) Perubahan peraturan perusahaan
sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya dapat dilakukan atas dasar
kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh.
(2) Peraturan perusahaan hasil
perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat pengesahan dari
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 114
Pengusaha
wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan
perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.
Pasal 115
Ketentuan
mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur dengan
Keputusan Menteri.
Bagian Ketujuh
Perjanjian Kerja Bersama
Pasal 116
Perjanjian Kerja Bersama
Pasal 116
(1)
Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau
beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa
pengusaha.
(2)
Penyusunan perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara musyawarah.
(3)
Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat secara
tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia.
(4)
Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama yang dibuat tidak menggunakan
bahasa Indonesia, maka perjanjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan terjemahan tersebut
dianggap sudah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 117
Dalam hal
musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai
kesepakatan, maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Pasal 118
Dalam 1
(satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang
berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan.
Pasal 119
(1)
Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh,
maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut berhak mewakili pekerja/buruh dalam
perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha apabila
memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah
seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(2)
Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih
dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di
perusahaan maka serikat pekerja/serikat buruh dapat mewakili pekerja/buruh
dalam perundingan dengan pengusaha apabila serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh perseratus) dari
jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.
(3)
Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai maka
serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat mengajukan kembali
permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha setelah
melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan
suara dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 120
(1)
Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat
pekerja/serikat buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan
perundingan dengan pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima
puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
(2)
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, maka
serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah
lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di
perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.
(3)
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) tidak
terpenuhi, maka para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang
keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota
masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 121
Keanggotaan
serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal
120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota.
Pasal 122
Pemungutan
suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh
panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat
pekerja/serikat buruh yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan dan pengusaha.
Pasal 123
(1) Masa berlakunya perjanjian kerja
bersama paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Perjanjian kerja bersama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang masa berlakunya paling
lama 1 (satu) tahun berdasarkan kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan
serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Perundingan pembuatan perjanjian
kerja bersama berikutnya dapat dimulai paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum
berakhirnya perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.
(4) Dalam hal perundingan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mencapai kesepakatan maka perjanjian
kerja bersama yang sedang berlaku, tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu)
tahun.
Pasal 124
(1)
Perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat:
a.
hak dan kewajiban pengusaha;
b.
hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
c.
jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
d.
tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
(2)
Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka
ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 125
Dalam hal
kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama, maka
perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian
kerja bersama yang sedang berlaku.
Pasal 126
(1)
Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan
ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.
(2)
Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan isi perjanjian
kerja bersama atau perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.
(3)
Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah perjanjian kerja bersama kepada
setiap pekerja/buruh atas biaya perusahaan.
Pasal 127
(1)
Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh tidak boleh
bertentangan dengan perjanjian kerja bersama.
(2)
Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam perjanjian
kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam
perjanjian kerja bersama.
Pasal 128
Dalam hal
perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerja
bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal 129
(1)
Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama dengan peraturan
perusahaan, selama di perusahaan yang bersangkutan masih ada serikat
pekerja/serikat buruh.
(2)
Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat pekerja/serikat buruh dan
perjanjian kerja bersama diganti dengan peraturan perusahaan, maka ketentuan
yang ada dalam peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan
yang ada dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal 130
(1)
Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut hanya terdapat 1
(satu) serikat pekerja/serikat buruh, maka perpanjangan atau pembuatan
pembaharuan perjanjian kerja bersama tidak mensyaratkan ketentuan dalam Pasal
119.
(2)
Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1
(satu) serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang
dulu berunding tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka
perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan oleh
serikat pekerja/serikat buruh yang anggotanya lebih 50% (lima puluh perseratus)
dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan bersama-sama dengan serikat
pekerja/serikat buruh yang membuat perjanjian kerja bersama terdahulu dengan
membentuk tim perunding secara proporsional.
(3)
Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah berakhir masa berlakunya akan
diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan tersebut terdapat lebih dari 1
(satu) serikat pekerja/serikat buruh dan tidak satupun serikat pekerja/serikat
buruh yang ada memenuhi ketentuan Pasal 120 ayat (1), maka perpanjangan atau
pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama dilakukan menurut ketentuan
Pasal 120 ayat (2) dan ayat (3).
Pasal 131
(1)
Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan
kepemilikan perusahaan maka perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
(2)
Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masing perusahaan
mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama yang berlaku
adalah perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan pekerja/buruh.
(3)
Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan (merger) antara perusahaan yang
mempunyai perjanjian kerja bersama dengan perusahaan yang belum mempunyai
perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi
perusahaan yang bergabung (merger) sampai dengan berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja bersama.
Pasal 132
(1)
Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada hari penandatanganan kecuali
ditentukan lain dalam perjanjian kerja bersama tersebut.
(2)
Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani oleh pihak yang membuat perjanjian
kerja bersama selanjutnya didaftarkan oleh pengusaha pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 133
Ketentuan
mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan
pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 134
Dalam
mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha,
pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pasal 135
Pelaksanaan
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan hubungan
industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah.
Bagian Kedelapan
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Paragraf 1
Perselisihan Hubungan Industrial
Perselisihan Hubungan Industrial
Pasal 136
(1) Penyelesaian perselisihan
hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian secara
musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai,
maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang.
Paragraf 2
Mogok Kerja
Mogok Kerja
Pasal 137
Mogok kerja
sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan
secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.
Pasal 138
(1)
Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak
pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung
dilakukan dengan tidak melanggar hukum.
(2)
Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
memenuhi atau tidak memenuhi ajakan tersebut.
Pasal 139
Pelaksanaan
mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani
kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan
keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu
kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.
Pasal 140
(1)
Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja
dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib
memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
(2)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a.
waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b.
tempat mogok kerja;
c.
alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d.
tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris
serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
(3)
Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk
sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
(4)
Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka
demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil
tindakan sementara dengan cara:
a.
melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses
produksi; atau
b.
bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi
perusahaan.
Pasal 141
(1)
Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang menerima surat pemberitahuan
mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 wajib memberikan tanda terima.
(2)
Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya
pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang
berselisih.
(3)
Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan
kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani oleh
para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4)
Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghasilkan
kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok
kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
berwenang.
(5)
Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dengan serikat
pekerja/serikat buruh atau penanggung jawab mogok kerja, mogok kerja dapat
diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.
Pasal 142
(1)
Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 139 dan Pasal 140 adalah mogok kerja tidak sah.
(2)
Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
akan diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 143
(1)
Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat
pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara
sah, tertib, dan damai.
(2)
Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap
pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok
kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 144
Terhadap
mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 140, pengusaha dilarang:
a.
mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar
perusahaan; atau
b.
memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada
pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah
melakukan mogok kerja.
Pasal 145
Dalam hal
pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan
hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh
berhak mendapatkan upah.
Paragraf 3
Penutupan Perusahaan (lock-out)
Pasal 146
(1)
Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai
akibat gagalnya perundingan.
(2)
Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai
tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh
dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
(3)
Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
Pasal 147
Penutupan
perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan
jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali
telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi,
serta kereta api.
Pasal 148
(1)
Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum
penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan.
(2)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a.
waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan (lock
out); dan
b.
alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).
(3)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pengusaha
dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 149
(1)
Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan yang menerima secara langsung surat
pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
148 harus memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari, tanggal,
dan jam penerimaan.
(2)
Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan
masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lock out) dengan
mempertemukan dan merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
(3)
Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan
kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para
pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4)
Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghasilkan
kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya
penutupan perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
(5)
Apabila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), maka atas dasar perundingan antara pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh, penutupan perusahaan (lock out) dapat diteruskan atau
dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.
(6)
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak diperlukan
apabila:
a.
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140;
b.
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif
yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XII
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Pasal 150
Ketentuan
mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan
hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak,
milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik
swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang
mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
Pasal 151
(1)
Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan
segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2)
Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak
dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh
pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh.
(3)
Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) benar-benar tidak
menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja
dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Pasal 152
(1)
Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang
menjadi dasarnya.
(2)
Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterima oleh
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah
dirundingkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
(3)
Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud
untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut
tidak menghasilkan kesepakatan.
Pasal 153
(1)
Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:
a.
pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter
selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b.
pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban
terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
c.
pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d.
pekerja/buruh menikah;
e.
pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui
bayinya;
f.
pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g.
pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat
buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha,
atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h.
pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan
pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i.
karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan,
jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j.
pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau
sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka
waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2)
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali
pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pasal 154
Penetapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal:
a.
pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan
secara tertulis sebelumnya;
b.
pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas
kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha,
berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk
pertama kali;
c.
pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan
perundang-undangan; atau
d.
pekerja/buruh meninggal dunia.
Pasal 155
(1)
Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151
ayat (3) batal demi hukum.
(2)
Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum
ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya.
(3)
Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam
proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta
hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Pasal 156
(1)
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang
pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang
seharusnya diterima.
(2)
Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
sebagai berikut:
a.
masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b.
masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua)
bulan upah;
c.
masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga)
bulan upah;
d.
masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4
(empat) bulan upah;
e.
masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5
(lima) bulan upah;
f.
masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6
(enam) bulan upah;
g.
masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7
(tujuh) bulan upah.
h.
masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8
(delapan) bulan upah;
i.
masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3)
Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan sebagai berikut:
a.
masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua)
bulan upah;
b.
masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3
(tiga) bulan upah;
c.
masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (duabelas)
tahun, 4 (empat) bulan upah;
d.
masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas)
tahun, 5 (lima) bulan upah;
e.
masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan
belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f.
masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (duapuluh
satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g.
masa kerja 21 (duapuluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (duapuluh
empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h.
masa kerja 24 (duapuluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
(4)
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a.
cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b.
biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana
pekerja/buruh diterima bekerja;
c.
penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (limabelas
perseratus) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang
memenuhi syarat;
d.
hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
(5)
Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja,
dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 157
(1)
Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang
tertunda, terdiri atas:
a.
upah pokok;
b.
segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada
pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan
kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar
pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga
pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
(2)
Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian,
maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari.
(3)
Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil,
potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan
pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan
ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau
kabupaten/kota.
(4)
Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada
upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12
(dua belas) bulan terakhir.
Pasal 158
(1)
Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan
pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
a.
melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik
perusahaan;
b.
memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c.
mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan atau mengedarkan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d.
melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e.
menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau
pengusaha di lingkungan kerja;
f.
membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g.
dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang
milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h.
dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam
keadaan bahaya di tempat kerja;
i.
membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan
kecuali untuk kepentingan negara; atau
j.
melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(2)
Kesalahan berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan bukti
sebagai berikut:
a.
pekerja/buruh tertangkap tangan;
b.
ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c.
bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di
perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang
saksi.
(3) Pekerja/buruh
yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagai dimaksud dalam Pasal
156 ayat (4).
(4) Bagi
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak
mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, diberikan uang pisah yang
besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 159
Apabila
pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan
gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 160
(1) Dalam hal
pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana
bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi
wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi
tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
untuk 1 (satu) orang tanggungan: 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
b.
untuk 2 (dua)orang tanggungan: 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
c.
untuk 3 (tiga) orang tanggungan: 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah;
d.
untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih: 50% (lima puluh perseratus) dari
upah.
(2)
Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam)
bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang
berwajib.
(3)
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang
setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya
karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)
Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak
bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
(5)
Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan
berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6)
Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5)
dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.
(7)
Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan masa
kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 161
(1) Dalam
hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan
diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
(2) Surat
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing berlaku untuk
paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3)
Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(4).
Pasal 162
(1)
Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2)
Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan
fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah
yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3)
Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi syarat:
a.
mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b.
tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c.
tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
(4)
Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri
dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 163
(1)
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam
hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan
kepemilikan perusahaan dan pekerja/ buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan
kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam
Pasal 156 ayat (4).
(2)
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha
tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2),
uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3),
dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 164
(1)
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara
terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan
ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4).
(2)
Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuktikan dengan
laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
(3)
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun
berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi
perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang
pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan
masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 165
Pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 166
Dalam hal hubungan
kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya
diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2
(dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali
uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 167
(1)
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan
pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha,
maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).
(2)
Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam
program pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ternyata lebih kecil daripada
jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang
penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar
oleh pengusaha.
(3)
Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun
yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang
diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya
dibayar oleh pengusaha.
(4)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat
diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama.
(5)
Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami
pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka
pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4).
(6)
Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) tidak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari
tua yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 168
(1)
Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut
tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah
dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus
hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
(2)
Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja.
(3)
Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pekerja/buruh yang
bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 169
(1)
Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha
melakukan perbuatan sebagai berikut:
a.
menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b.
membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan;
c.
tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga)
bulan berturut-turut atau lebih;
d.
tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
e.
memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang
diperjanjikan; atau
f.
memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan
kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada
perjanjian kerja.
(2)
Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156
ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(3)
Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka
pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat
(2), dan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3).
Pasal 170
Pemutusan
hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan Pasal 151 ayat (3) dan
Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal
169 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang
bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.
Pasal 171
Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan
hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud pada Pasal 158 ayat (1), Pasal
160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat
menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat mengajukan
gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu
paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.
Pasal 172
Pekerja/buruh
yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja
dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas)
bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2
(dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
BAB XIII
PEMBINAAN
Pasal 173
(1) Pemerintah
melakukan pembinaan terhadap unsur-unsur dan kegiatan yang berhubungan dengan
ketenagakerjaan.
(2)
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat mengikutsertakan organisasi
pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan organisasi profesi terkait.
(3)
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2), dilaksanakan secara
terpadu dan terkoordinasi.
Pasal 174
Dalam rangka
pembinaan ketenagakerjaan, pemerintah, organisasi pengusaha, serikat
pekerja/serikat buruh dan organisasi profesi terkait dapat melakukan kerja sama
internasional di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 175
(1)
Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang telah
berjasa dalam pembinaan ketenagakerjaan.
(2)
Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk
piagam, uang, dan/atau bentuk lainnya.
BAB XIV
PENGAWASAN
Pasal 176
Pengawasan
ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai
kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pasal 177
Pegawai
pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 ditetapkan oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 178
(1)
Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada
instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan
pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
(2)
Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 179
(1)
Unit kerja pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 pada
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri.
(2)
Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 180
Ketentuan mengenai persyaratan penunjukan, hak
dan kewajiban, serta wewenang pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 176 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 181
Pegawai
pengawas ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 176 wajib:
a.
merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan;
b.
tidak menyalahgunakan kewenangannya.
BAB XV
PENYIDIKAN
Pasal 182
(1)
Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pegawai
pengawas ketenagakerjaan dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai
negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a.
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan;
b.
melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan;
c.
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan
dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
d.
melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
e.
melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan;
f.
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
g.
menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan
tentang adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
(3)
Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI
ADMINISTRATIF
Bagian Pertama
Ketentuan Pidana
Pasal 183
(1) Barang
siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan sanksi
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal 184
(1) Barang
siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5),
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp100.000.000.00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal 185
(1)
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat
(1), Pasal 139, Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan
sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
kejahatan.
Pasal 186
(1)
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)
dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan
sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
Pasal 187
(1) Barang
siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal
44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76,
Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal
144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
Pasal 188
(1) Barang
siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal
38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal
111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling
sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
Pasal 189
Sanksi
pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban
pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau
pekerja/buruh.
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 190
(1)
Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas
pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 15, Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1),
Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
(2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
teguran;
b.
peringatan tertulis;
c.
pembatasan kegiatan usaha;
d.
pembekuan kegiatan usaha;
e.
pembatalan persetujuan;
f.
pembatalan pendaftaran;
g.
penghentian sementara sebahagian atau seluruh alat produksi;
h.
pencabutan ijin.
(3)
Ketentuan mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 191
Semua
peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru
berdasarkan Undang-undang ini.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 192
Pada saat
mulai berlakunya Undang-undang ini, maka:
1.
Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar
Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8);
2.
Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan
Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
3.
Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak-anak Dan Orang Muda Di Atas
Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
4.
Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan-kegiatan
Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
5.
Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari Luar
Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
6.
Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak (Staatsblad
Tahun 1949 Nomor 8);
7. Undang-undang Nomor 1
Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kerja Tahun 1948 Nomor
12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951
Nomor 2);
8. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan
Antara Serikat Buruh Dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 598a);
9. Undang-undang Nomor 3
Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8
);
10. Undang-undang Nomor 8 Tahun
1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);
11. Undang-undang Nomor 7 Pnps
Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Di
Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor
67);
12. Undang-undang No. 14 Tahun
1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara
Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912);
13. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);
14.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara 1998 Nomor 184,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791);
15.
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun
1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042).
dinyatakan
tidak berlaku lagi.
Pasal 193
Undang-undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta
Pada Tanggal 25 Maret 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Pada Tanggal 25 Maret 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan Di Jakarta
Pada Tanggal 25 Maret 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 39
Pada Tanggal 25 Maret 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 39
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN
I.
UMUM
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan
nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga
kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik
materiil maupun spiritual.
Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi
hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh
serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi
pengembangan dunia usaha.
Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan.
Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan
sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha,
pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh
dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumberdaya manusia,
peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya
perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan
hubungan industrial.
Pembinaan hubungan industrial sebagai bagian dari pembangunan
ketenagakerjaan harus diarahkan untuk terus mewujudkan hubungan industrial yang
harmonis, dinamis, dan berkeadilan. Untuk itu, pengakuan dan penghargaan
terhadap hak asasi manusia sebagaimana yang dituangkan dalam TAP MPR NO.
XVII/MPR/1998 harus diwujudkan. Dalam bidang ketenagakerjaan, ketetapan MPR ini
merupakan tonggak utama dalam menegakkan demokrasi di tempat kerja. Penegakan
demokrasi di tempat kerja diharapkan dapat mendorong partisipasi yang optimal
dari seluruh tenaga kerja dan pekerja/buruh Indonesia untuk membangun negara
Indonesia yang dicita-citakan.
Beberapa peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan yang berlaku
selama ini, termasuk sebagian yang merupakan produk kolonial, menempatkan
pekerja pada posisi yang kurang menguntungkan dalam pelayanan penempatan tenaga
kerja dan sistem hubungan industrial yang menonjolkan perbedaan kedudukan dan
kepentingan sehingga dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa
kini dan tuntutan masa yang akan datang.
Peraturan perundang-undangan tersebut adalah:
- Ordonansi
tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia
(Staatsblad tahun 1887 No. 8);
- Ordonansi
tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja
Malam bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
- Ordonansi
Tahun 1926 Peraturan Mengenai Kerja Anak-anak dan Orang Muda Di Atas Kapal
(Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
- Ordonansi
tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan-kegiatan Mencari
Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
-
Ordonansi tentang Pemulangan Buruh yang Diterima atau Dikerahkan Dari Luar
Indonesia (Staatsblad tahun 1939 Nomor 545);
-
Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-anak (Staatsblad
Tahun 1949 Nomor 8);
- Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Kerja tahun 1948
Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara tahun
1951 Nomor 2);
-
Undang-undang Nomor 21 tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat
Buruh dan Majikan (Lembaran Negara Tahun
1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor
598 a);
-
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran
Negara Tahun 1958 Nomor 8);
"
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran Negara
Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);
"
Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau
Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan dan Badan yang Vital (Lembaran
Negara Tahun 1963 Nomor 67);
"
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun
1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912);
"
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);
"
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara 1998 Nomor 184,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791); dan
"
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun
1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042).
Peraturan perundang-undangan tersebut di atas dipandang perlu untuk dicabut
dan diganti dengan Undang-undang yang baru. Ketentuan-ketentuan yang masih
relevan dari peraturan perundang-undangan yang lama ditampung dalam
Undang-undang ini. Peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang telah
dicabut masih tetap berlaku
sebelum ditetapkannya peraturan baru sebagai pengganti.
Undang-undang ini di samping untuk mencabut ketentuan yang tidak sesuai
lagi dengan tuntutan dan perkembangan zaman, dimaksudkan juga untuk menampung
perubahan yang sangat mendasar di segala aspek kehidupan bangsa Indonesia
dengan dimulainya era reformasi tahun 1998.
Di bidang ketenagakerjaan internasional, penghargaan terhadap hak asasi
manusia di tempat kerja dikenal melalui 8 (delapan) konvensi dasar
International Labour Organization (ILO). Konvensi dasar ini terdiri atas 4
(empat) kelompok yaitu:
"
Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO No. 87 dan No. 98);
"
Diskriminasi (Konvensi ILO No. 100, dan No. 111);
"
Kerja Paksa (Konvensi ILO No. 29, dan No. 105); dan
"
Perlindungan Anak (Konvensi ILO No. 138 dan No. 182 ).
Komitmen bangsa Indonesia terhadap penghargaan pada hak asasi manusia di
tempat kerja antara lain diwujudkan dengan meratifikasi kedelapan konvensi
dasar tersebut. Sejalan dengan ratifikasi konvensi mengenai hak dasar tersebut,
maka Undang-undang ketenagakerjaan yang disusun ini harus pula mencerminkan
ketaatan dan penghargaan pada ketujuh prinsip dasar tersebut.
Undang-undang ini antara lain memuat:
"
Landasan, asas, dan tujuan pembangunan ketenagakerjaan;
"
Perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan;
"
Pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi tenaga kerja dan
pekerja/buruh;
"
Pelatihan kerja yang diarahkan untuk meningkatkan dan mengembangkan
keterampilan serta keahlian tenaga kerja guna meningkatkan produktivitas kerja dan produktivitas perusahaan.
"
Pelayanan penempatan tenaga kerja dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja secara
optimal dan penempatan tenaga kerja pada pekerjaan yang sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dan
masyarakat dalam upaya perluasan kesempatan kerja;
"
Penggunaan tenaga kerja asing yang tepat sesuai dengan kompetensi yang
diperlukan;
"
Pembinaan hubungan industrial yang
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila diarahkan untuk menumbuhkembangkan hubungan
yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan antar para pelaku proses produksi;
"
Pembinaan kelembagaan dan sarana hubungan industrial, termasuk perjanjian kerja bersama, lembaga kerja sama
bipartit, lembaga kerja sama tripartit, pemasyarakatan hubungan industrial dan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
"
Perlindungan pekerja/buruh, termasuk perlindungan atas hak-hak dasar
pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha, perlindungan keselamatan, dan
kesehatan kerja, perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan
penyandang cacat, serta perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan
sosial tenaga kerja;
"
Pengawasan ketenagakerjaan dengan maksud agar dalam peraturan
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan ini benar-benar dilaksanakan
sebagaimana mestinya.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 s.d.
angka 33
Cukup jelas
Pasal 2
Pembangunan
ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu, pembangunan
ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia
yang sejahtera, adil, makmur, dan merata baik materiil maupun spiritual.
Pasal 3
Asas
pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan
nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata.
Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan
berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh. Oleh sebab
itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja
sama yang saling mendukung.
Pasal 4
Huruf a
Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang
terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga
kerja Indonesia. Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga
kerja Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal dalam Pembangunan Nasional,
namun dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya.
Huruf b
Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan memberikan
kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja
Indonesia sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Demikian pula
pemerataan penempatan tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan
di seluruh sektor dan daerah.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 5
Setiap
tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan
yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa
membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan
minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang
sama terhadap para penyandang cacat.
Pasal 6
Pengusaha
harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis
kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik.
Pasal 7
Ayat (1)
Perencanaan tenaga kerja yang disusun dan ditetapkan oleh pemerintah
dilakukan melalui pendekatan perencanaan tenaga kerja nasional, daerah, dan
sektoral.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kerja makro adalah proses penyusunan rencana
ketenagakerjaan secara sistematis yang memuat
pendayagunaan tenaga kerja secara optimal, dan produktif guna mendukung
pertumbuhan ekonomi atau sosial, baik secara nasional, daerah, maupun sektoral
sehingga dapat membuka kesempatan kerja seluas-luasnya, meningkatkan
produktivitas kerja dan meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh.
Huruf b
Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kerja mikro adalah proses
penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis dalam suatu instansi, baik
instansi pemerintah maupun swasta dalam rangka meningkatkan pendayagunaan
tenaga kerja secara optimal dan produktif untuk mendukung pencapaian kinerja
yang tinggi pada instansi atau
perusahaan yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Informasi ketenagakerjaan dikumpulkan dan diolah sesuai dengan maksud
disusunnya perencanaan tenaga kerja
nasional, perencanaan tenaga kerja daerah provinsi atau kabupaten/kota.
Ayat (2)
Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, partisipasi swasta diharapkan
dapat memberikan informasi mengenai ketenagakerjaan. Pengertian swasta mencakup
perusahaan, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat di pusat,
provinsi atau kabupaten/kota.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Yang
dimaksud dengan peningkatan kesejahteraan dalam pasal ini adalah kesejahteraan
bagi tenaga kerja yang diperoleh karena terpenuhinya kompetensi kerja melalui
pelatihan kerja.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penetapan standar kompetensi kerja dilakukan oleh Menteri dengan
mengikutsertakan sektor terkait.
Ayat (3)
Jenjang pelatihan kerja pada umumnya terdiri atas tingkat dasar, terampil,
dan ahli.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Pengguna tenaga kerja terampil adalah pengusaha, oleh karena itu pengusaha
bertanggung jawab mengadakan pelatihan kerja untuk meningkatkan kompetensi
pekerjanya.
Ayat (2)
Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi diwajibkan bagi pengusaha
karena perusahaan yang akan memperoleh manfaat hasil kompetensi pekerja/buruh.
Ayat (3)
Pelaksanaan pelatihan kerja disesuaikan dengan kebutuhan serta kesempatan
yang ada di perusahaan agar tidak mengganggu kelancaran kegiatan perusahaan.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pelatihan kerja swasta juga termasuk pelatihan kerja
perusahaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pendaftaran kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh instansi
pemerintah dimaksudkan untuk mendapatkan informasi sehingga hasil pelatihan,
sarana dan prasarana pelatihan dapat berdaya guna dan berhasil guna secara
optimal.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sertifikasi kompetensi adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif
melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi nasional dan/atau
internasional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Sistem pelatihan kerja nasional adalah keterkaitan dan keterpaduan berbagai
unsur pelatihan kerja yang antara lain meliputi peserta, biaya, sarana, dan
prasarana, tenaga kepelatihan, program dan metode, serta lulusan. Dengan adanya
sistem pelatihan kerja nasional, semua unsur dan sumber daya pelatihan kerja
nasional yang tersebar di instansi pemerintah, swasta, dan perusahaan dapat
dimanfaatkan secara optimal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Hak peserta pemagangan antara lain memperoleh uang saku dan/atau uang
transpor, memperoleh jaminan sosial tenaga kerja, memperoleh sertifikat apabila
lulus di akhir program.
Hak pengusaha antara lain berhak atas hasil kerja/jasa peserta pemagangan,
merekrut pemagang sebagai pekerja/buruh bila memenuhi persyaratan.
Kewajiban peserta pemagangan antara lain menaati perjanjian pemagangan,
mengikuti tata tertib program pemagangan, dan mengikuti tata tertib perusahaan.
Adapun kewajiban pengusaha antara lain menyediakan uang saku dan/atau uang
transpor bagi peserta pemagangan, menyediakan fasilitas pelatihan, menyediakan
instruktur, dan perlengkapan keselamatan dan kesehatan kerja.
Jangka waktu pemagangan bervariasi sesuai dengan jangka waktu yang
diperlukan untuk mencapai standar kompetensi yang ditetapkan dalam program
pelatihan pemagangan.
Ayat (3)
Dengan status sebagai pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan, maka
berhak atas segala hal yang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.
Pasal 23
Sertifikasi
dapat dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang dibentuk dan/atau diakreditasi
oleh pemerintah bila programnya bersifat umum, atau dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan bila programnya
bersifat khusus.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kepentingan perusahaan dalam ayat ini adalah agar
terjamin tersedianya tenaga terampil dan ahli pada tingkat kompetensi tertentu
seperti juru las spesialis dalam air.
Yang dimaksud dengan kepentingan masyarakat misalnya untuk membuka
kesempatan bagi masyarakat memanfaatkan industri yang bersifat spesifik seperti
teknologi budi daya tanaman dengan kultur jaringan.
Yang dimaksud dengan kepentingan negara misalnya untuk menghemat devisa
negara, maka perusahaan diharuskan melaksanakan program pemagangan seperti
keahlian membuat alat-alat pertanian modern.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan terbuka adalah
pemberian informasi kepada pencari kerja secara jelas antara lain jenis
pekerjaan, besarnya upah, dan jam kerja. Hal ini diperlukan untuk melindungi
pekerja/buruh serta untuk menghindari terjadinya perselisihan setelah tenaga
kerja ditempatkan.
Yang dimaksud dengan bebas adalah pencari kerja bebas memilih jenis
pekerjaan dan pemberi kerja bebas memilih tenaga kerja, sehingga tidak
dibenarkan pencari kerja dipaksa untuk menerima suatu pekerjaan dan pemberi
kerja tidak dibenarkan dipaksa untuk menerima tenaga kerja yang ditawarkan.
Yang dimaksud dengan obyektif adalah pemberi kerja agar menawarkan
pekerjaan yang cocok kepada pencari kerja sesuai dengan kemampuannya dan
persyaratan jabatan yang dibutuhkan, serta harus memperhatikan kepentingan umum
dengan tidak memihak kepada kepentingan pihak tertentu.
Yang dimaksud dengan adil dan setara adalah penempatan tenaga kerja
dilakukan berdasarkan kemampuan tenaga kerja dan tidak didasarkan atas ras,
jenis kelamin, warna kulit, agama, dan aliran politik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara
Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja nasional dengan memberikan
kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja
sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan
kesempatan kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan tenaga kerja di
seluruh sektor dan daerah.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Sebelum
undang-undang mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri diundangkan maka
segala peraturan perundangan yang mengatur penempatan tenaga kerja di luar
negeri tetap berlaku.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud pemberi kerja adalah pemberi kerja di dalam negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Huruf a
Penetapan instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan di tingkat pusat dan daerah ditentukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Karena upaya
perluasan kesempatan kerja mencakup lintas sektoral, maka harus disusun
kebijakan nasional di semua sektor yang dapat menyerap tenaga kerja secara
optimal. Agar kebijakan nasional tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka
pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasinya secara terkoordinasi.
Pasal 42
Ayat (1)
Perlunya pemberian izin penggunaan tenaga kerja warga negara asing
dimaksudkan agar penggunaan tenaga kerja warga negara asing dilaksanakan secara
selektif dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja Indonesia secara optimal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Rencana penggunaan tenaga kerja warga negara asing merupakan persyaratan
untuk mendapatkan izin kerja (IKTA).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan badan internasional dalam ayat ini adalah badan-badan
internasional yang tidak mencari keuntungan seperti lembaga yang bernaung di
bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) antara lain ILO, WHO, atau UNICEF.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan standar kompetensi adalah kualifikasi yang harus
dimiliki oleh tenaga kerja warga negara asing antara lain pengetahuan,
keahlian, keterampilan di bidang tertentu, dan pemahaman budaya Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Huruf a
Tenaga kerja pendamping tenaga kerja asing tidak secara otomatis
menggantikan atau menduduki jabatan tenaga kerja asing yang didampinginya.
Pendampingan tersebut lebih dititikberatkan pada alih teknologi dan alih
keahlian agar tenaga kerja pendamping tersebut dapat memiliki kemampuan
sehingga pada waktunya diharapkan dapat mengganti tenaga kerja asing yang
didampinginya.
Huruf b
Pendidikan dan pelatihan kerja oleh pemberi kerja tersebut dapat
dilaksanakan baik di dalam negeri maupun dengan mengirimkan tenaga kerja
Indonesia untuk berlatih di luar negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Kewajiban membayar kompensasi dimaksudkan dalam rangka menunjang upaya
peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Pada prinsipnya perjanjian kerja dibuat secara tertulis, namun melihat
kondisi masyarakat yang beragam dimungkinkan perjanjian kerja secara lisan.
Ayat (2)
Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis harus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain perjanjian kerja waktu
tertentu, antarkerja antardaerah, antarkerja antarnegara, dan perjanjian kerja
laut.
Pasal 52
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan kemampuan atau kecakapan adalah para pihak yang mampu
atau cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian. Bagi tenaga kerja anak, yang
menandatangani perjanjian adalah orang tua atau walinya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan pada ayat ini adalah apabila
di perusahaan telah ada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama,
maka isi perjanjian kerja baik kualitas maupun
kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama di perusahaan yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Perjanjian kerja dalam ayat ini dicatatkan ke instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan di bidang ketenagakerjaan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah
pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi
waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan
atau pekerjaan yang bukan musiman.
Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca
atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang
terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian
dari suatu proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu
dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut
merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat
menjadi objek perjanjian kerja waktu tertentu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Syarat masa percobaan kerja harus dicantumkan dalam perjanjian kerja.
Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan, maka syarat masa percobaan
kerja harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan
dalam surat pengangkatan. Dalam hal
tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat pengangkatan,
maka ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Keadaan atau kejadian tertentu seperti bencana alam, kerusuhan sosial, atau
gangguan keamanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud hak-hak yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku
atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama adalah hak-hak yang harus diberikan yang lebih
baik dan menguntungkan pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan
yang berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya diperbolehkan
mempekerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau
perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha
pokok (core business) suatu perusahaan.
Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning
service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga
pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan
perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun
penyelesaian perselisihan antara penyedia jasa tenaga kerja dengan
pekerja/buruh harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
memperoleh hak (yang sama) sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama atas perlindungan upah dan
kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dengan
pekerja/buruh lainnya di perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini misalnya penyediaan
aksesibilitas, pemberian alat kerja, dan alat pelindung diri yang disesuaikan
dengan jenis dan derajat kecacatannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi anak agar pengembangan bakat dan minat anak yang pada
umumnya muncul pada usia ini tidak terhambat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Ayat (1)
Penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja dimaksudkan untuk
menghapuskan atau mengurangi anak yang bekerja di luar hubungan kerja. Upaya
tersebut harus dilakukan secara terencana, terpadu, dan terkoordinasi dengan
instansi terkait.
Anak yang bekerja di luar hubungan kerja misalnya anak penyemir sepatu atau
anak penjual koran.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Yang bertanggung jawab atas pelanggaran ayat ini adalah pengusaha.
Apabila pekerja/buruh perempuan yang dimaksud dalam ayat ini dipekerjakan
antara pukul 23.00 s.d. 07.00 maka yang bertanggung jawab atas pelanggaran
tersebut adalah pengusaha.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud sektor usaha atau pekerjaan tertentu dalam ayat ini misalnya
pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh,
penerbangan jarak jauh, pekerjaan di kapal (laut), atau penebangan hutan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Mempekerjakan lebih dari waktu kerja
sedapat mungkin harus dihindarkan karena pekerja/buruh harus mempunyai waktu
yang cukup untuk istirahat dan memulihkan kebugarannya. Namun, dalam hal-hal
tertentu terdapat kebutuhan yang
mendesak yang harus diselesaikan segera dan tidak dapat dihindari sehingga
pekerja/buruh harus bekerja melebihi waktu kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Selama menjalankan istirahat panjang, pekerja/buruh diberi uang kompensasi
hak istirahat tahunan tahun kedelapan sebesar � (setengah) bulan gaji dan bagi perusahaan yang telah memberlakukan
istirahat panjang yang lebih baik dari ketentuan undang-undang ini, maka tidak
boleh mengurangi dari ketentuan yang sudah ada.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 80
Yang
dimaksud kesempatan secukupnya yaitu menyediakan tempat untuk melaksanakan
ibadah yang memungkinkan pekerja/buruh dapat melaksanakan ibadahnya secara
baik, sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Lamanya istirahat dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter
kandungan atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 83
Yang
dimaksud dengan kesempatan sepatutnya dalam pasal ini adalah lamanya waktu yang
diberikan kepada pekerja/buruh perempuan untuk menyusui bayinya dengan
memperhatikan tersedianya tempat yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan
perusahaan, yang diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melayani kepentingan dan
kesejahteraan umum. Di samping itu untuk pekerjaan yang karena sifat dan jenis
pekerjaannya tidak memungkinkan pekerjaan itu dihentikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 86
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Upaya keselamatan dan kesehatan kerja dimaksudkan untuk memberikan jaminan
keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh dengan cara
pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat
kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan yang meliputi
struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur,
proses, dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan,
pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan
kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja
guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 88
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah jumlah penerimaan atau
pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan
hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang,
perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 89
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Upah minimum sektoral dapat ditetapkan untuk kelompok lapangan usaha
beserta pembagiannya menurut klasifikasi lapangan usaha Indonesia untuk
kabupaten/kota, provinsi, beberapa provinsi atau nasional dan tidak boleh lebih
rendah dari upah minimum regional daerah yang bersangkutan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak
dalam ayat ini ialah setiap penetapan upah minimum harus disesuaikan dengan
tahapan pencapaian perbandingan upah minimum dengan kebutuhan hidup layak yang
besarannya ditetapkan oleh Menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pencapaian kebutuhan hidup layak perlu dilakukan secara bertahap karena
kebutuhan hidup layak tersebut merupakan peningkatan dari kebutuhan hidup
minimum yang sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan dunia usaha.
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi perusahaan yang tidak mampu
dimaksudkan untuk membebaskan perusahaan yang bersangkutan melaksanakan upah
minimum yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Apabila penangguhan tersebut
berakhir maka perusahaan yang bersangkutan wajib melaksanakan upah minimum yang
berlaku pada saat itu tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah
minimum yang berlaku pada waktu diberikan
penangguhan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Ayat (1)
Penyusunan struktur dan skala upah dimaksudkan sebagai pedoman penetapan
upah sehingga terdapat kepastian upah tiap pekerja/buruh serta untuk mengurangi kesenjangan antara upah
terendah dan tertinggi di perusahaan yang bersangkutan.
Ayat (2)
Peninjauan upah dilakukan untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup, prestasi
kerja, perkembangan, dan kemampuan perusahaan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 93
Ayat (1)
Ketentuan ini merupakan asas yang pada dasarnya berlaku untuk semua
pekerja/buruh, kecuali apabila pekerja/buruh
yang bersangkutan tidak dapat
melakukan pekerjaan bukan karena kesalahannya.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud pekerja/buruh sakit ialah sakit menurut keterangan dokter.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan menjalankan kewajiban terhadap negara adalah
melaksanakan kewajiban negara yang telah diatur dengan peraturan
perundang-undangan.
Pembayaran upah kepada pekerja/buruh yang menjalankan kewajiban terhadap
negara dilaksanakan apabila:
"
negara tidak melakukan pembayaran ; atau
"
negara membayar kurang dari upah yang biasa diterima pekerja/buruh, dalam hal
ini maka pengusaha wajib membayar kekurangannya.
Huruf d
Yang dimaksud dengan menjalankan kewajiban ibadah menurut agamanya adalah
melaksanakan kewajiban ibadah menurut agamanya yang telah diatur dengan
peraturan perundang-undangan.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 94
Yang
dimaksud dengan tunjangan tetap dalam pasal ini adalah pembayaran kepada
pekerja/buruh yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan
kehadiran pekerja/buruh atau pencapaian prestasi kerja tertentu.
Pasal 95
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus
dibayar lebih dahulu dari pada utang lainnya.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan fasilitas kesejahteraan antara lain pelayanan keluarga
berencana, tempat penitipan anak, perumahan pekerja/buruh, fasilitas beribadah,
fasilitas olah raga, fasilitas kantin, fasilitas kesehatan, dan fasilitas
rekreasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 101
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan usaha-usaha produktif di perusahaan adalah kegiatan
yang bersifat ekonomis yang menghasilkan pendapatan di luar upah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Ayat (1)
Kebebasan untuk membentuk, masuk atau tidak masuk menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh merupakan salah satu hak dasar pekerja/buruh.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Ayat (1)
Pada perusahaan dengan jumlah pekerja/buruh kurang dari 50 (lima puluh)
orang, komunikasi dan konsultasi masih dapat dilakukan secara individual dengan
baik dan efektif. Pada perusahaan dengan jumlah pekerja/buruh 50 (limapuluh)
orang atau lebih, komunikasi dan konsultasi perlu dilakukan melalui sistem
perwakilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan syarat kerja adalah hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh
yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan perusahaan tidak boleh lebih
rendah kualitas atau kuantitasnya dari peraturan perundang-undangan yang
berlaku, dan apabila ternyata bertentangan, maka yang berlaku adalah ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Pemberitahuan
dilakukan dengan cara membagikan salinan peraturan perusahaan kepada setiap
pekerja/buruh, menempelkan di tempat yang mudah dibaca oleh para pekerja/buruh,
atau memberikan penjelasan langsung kepada pekerja/buruh.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembuatan perjanjian kerja bersama harus dilandasi dengan itikad baik, yang
berarti harus ada kejujuran dan keterbukaan para pihak serta kesukarelaan/kesadaran
yang artinya tanpa ada tekanan dari satu pihak terhadap pihak lain.
Ayat (3)
Dalam hal perjanjian kerja bersama dibuat dalam bahasa Indonesia dan
diterjemahkan dalam bahasa lain, apabila terjadi perbedaan penafsiran, maka
yang berlaku perjanjian kerja bersama yang menggunakan bahasa Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 117
Penyelesaian
melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan
melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku adalah kualitas dan
kuantitas isi perjanjian kerja
bersama tidak boleh lebih rendah dari peraturan perundangan-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
"
Yang dimaksud dengan gagalnya perundingan dalam pasal ini adalah tidak
tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan atau
perundingan mengalami jalan buntu.
"
Yang dimaksud dengan tertib dan damai adalah tidak mengganggu keamanan dan
ketertiban umum, dan/atau mengancam keselamatan jiwa dan harta benda milik
perusahaan atau pengusaha atau orang lain atau milik masyarakat.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Yang dimaksud
dengan perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis
kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia adalah rumah sakit, dinas
pemadam kebakaran, penjaga pintu perlintasan kereta api, pengontrol pintu air,
pengontrol arus lalu lintas udara, dan pengontrol arus lalu lintas laut.
Yang
dimaksud dengan pemogokan yang diatur sedemikian rupa yaitu pemogokan yang
dilakukan oleh para pekerja/buruh yang
tidak sedang menjalankan tugas.
Pasal 140
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Tempat mogok kerja adalah tempat-tempat yang ditentukan oleh penanggung
jawab pemogokan yang tidak menghalangi pekerja/buruh lain untuk bekerja.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan menghalang-halangi dalam ayat ini antara lain dengan
cara:
a.
menjatuhkan hukuman;
b.
mengintimidasi dalam bentuk apapun; atau
c.
melakukan mutasi yang merugikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
"
Yang dimaksud dengan sungguh-sungguh melanggar hak normatif adalah pengusaha
secara nyata tidak bersedia memenuhi
kewajibannya sebagaimana dimaksud dan/atau ditetapkan dalam peraturan
perusahaan, perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, atau peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan,
meskipun sudah ditetapkan dan diperintahkan oleh pejabat yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
"
Pembayaran upah pekerja/buruh yang mogok dalam pasal ini tidak menghilangkan
ketentuan pengenaan sanksi terhadap pengusaha yang melakukan pelanggaran
ketentuan normatif.
Pasal 146
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal penutupan perusahaan (lock out) dilakukan secara tidak sah atau
sebagai tindakan balasan terhadap mogok yang sah atas tuntutan normatif, maka
pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan segala upaya dalam ayat ini adalah kegiatan-kegiatan
yang positif yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya pemutusan hubungan
kerja antara lain pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja,
dan memberikan pembinaan kepada pekerja/buruh.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Cukup jelas.
Pasal 158
Cukup jelas.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160
Ayat (1)
Keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungan adalah istri/suami, anak
atau orang yang syah menjadi tanggungan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 161
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Masing-masing surat peringatan dapat diterbitkan secara berurutan atau
tidak, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja atau
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Dalam hal surat peringatan diterbitkan secara berurutan maka surat
peringatan pertama berlaku untuk jangka 6 (enam) bulan. Apabila pekerja/buruh
melakukan kembali pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama masih dalam tenggang waktu 6 (enam)
bulan maka pengusaha dapat menerbitkan surat peringatan kedua, yang juga
mempunyai jangka waktu berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya
peringatan kedua.
Apabila pekerja/buruh masih melakukan pelanggaran ketentuan dalam
perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama,
pengusaha dapat menerbitkan peringatan ketiga (terakhir) yang berlaku selama 6
(enam) bulan sejak diterbitkannya peringatan ketiga. Apabila dalam kurun waktu
peringatan ketiga pekerja/buruh kembali melakukan pelanggaran perjanjian kerja
atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja.
Dalam hal jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya surat peringatan
pertama sudah terlampaui, maka apabila pekerja/buruh yang bersangkutan melakukan
kembali pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama, maka surat peringatan yang diterbitkan oleh pengusaha adalah
kembali sebagai peringatan pertama, demikian pula berlaku juga bagi peringatan
kedua dan ketiga.
Perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama
dapat memuat pelanggaran tertentu yang dapat diberi peringatan pertama dan
terakhir. Apabila pekerja/buruh melakukan pelanggaran perjanjian kerja atau
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dalam tenggang waktu masa
berlakunya peringatan pertama dan terakhir dimaksud, pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja.
Tenggang waktu 6 (enam) bulan dimaksudkan sebagai upaya mendidik
pekerja/buruh agar dapat memperbaiki kesalahannya dan di sisi lain waktu 6
(enam) bulan ini merupakan waktu yang cukup bagi pengusaha untuk melakukan
penilaian terhadap kinerja pekerja/buruh yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 163
Cukup jelas.
Pasal 164
Cukup jelas.
Pasal 165
Cukup jelas.
Pasal 166
Cukup jelas.
Pasal 167
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh dari ayat ini adalah:
"
Misalnya uang pesangon yang seharusnya diterima pekerja/buruh adalah Rp
10.000.000,00 dan besarnya jaminan pensiun menurut program pensiun adalah Rp
6.000.000,00. serta dalam pengaturan program pensiun tersebut telah ditetapkan
premi yang ditanggung oleh pengusaha 60% (enampuluh perseratus) dan oleh
pekerja/buruh 40% (empatpuluh perseratus), maka:
"
Perhitungan hasil dari premi yang sudah
dibayar oleh pengusaha adalah: sebesar 60%
x Rp6.000.000,00 = Rp3.600.000,00
"
Besarnya santunan yang preminya dibayar oleh pekerja/buruh adalah sebesar 40% X
Rp 6000.000,00 = Rp 2.400.000,00
"
Jadi kekurangan yang masih harus dibayar oleh Pengusaha sebesar Rp10.000.000,00
dikurangi Rp3.600.000,00 = Rp. 6.400.000,00
"
Sehingga uang yang diterima oleh pekerja/buruh pada saat PHK karena pensiun
tersebut adalah:
�%
Rp3.600.000,00 (santunan dari penyelenggara program pensiun yang preminya 60%
dibayar oleh pengusaha)
�%
Rp6.400.000.00 (berasal dari kekurangan pesangon yang harus di bayar oleh pengusaha)
�%
Rp2.400.000.00 (santunan dari penyelenggara program pensiun yang preminya 40%
dibayar oleh pekerja/buruh)
Jumlah Rp 12.400.000,00 (dua belas juta empat ratus ribu rupiah)
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 168
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dipanggil secara patut dalam ayat ini adalah
pekerja/buruh telah dipanggil secara tertulis yang ditujukan pada alamat
pekerja/buruh sebagaimana tercatat di perusahaan berdasarkan laporan
pekerja/buruh. Tenggang waktu antara pemanggilan pertama dan kedua paling
sedikit 3 (tiga) hari kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 169
Cukup jelas.
Pasal 170
Cukup jelas.
Pasal 171
Tenggang
waktu 1 tahun dianggap merupakan waktu yang cukup layak untuk mengajukan
gugatan.
Pasal 172
Cukup jelas.
Pasal 173
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pembinaan dalam ayat ini adalah kegiatan yang
dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang
lebih baik untuk meningkatkan dan mengembangkan semua kegiatan yang berhubungan
dengan ketenagakerjaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang melakukan koordinasi dalam ayat ini adalah instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 174
Cukup jelas.
Pasal 175
Cukup jelas.
Pasal 176
Yang
dimaksudkan dengan independen dalam pasal ini adalah pegawai pengawas dalam
mengambil keputusan tidak terpengaruh oleh pihak lain.
Pasal 177
Cukup jelas.
Pasal 178
Cukup jelas.
Pasal 179
Cukup jelas.
Pasal 180
Cukup jelas.
Pasal 181
Cukup jelas.
Pasal 182
Cukup jelas.
Pasal 183
Cukup jelas.
Pasal 184
Cukup jelas.
Pasal 185
Cukup jelas.
Pasal 186
Cukup jelas.
Pasal 187
Cukup jelas.
Pasal 188
Cukup jelas.
Pasal 189
Cukup jelas.
Pasal 190
Cukup jelas.
Pasal 191
Yang
dimaksud peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan dalam
undang-undang ini adalah peraturan pelaksanaan dari berbagai undang-undang di
bidang ketenagakerjaan baik yang sudah dicabut maupun yang masih berlaku. Dalam
hal peraturan pelaksanaan belum dicabut atau diganti berdasarkan undang-undang
ini, agar tidak terjadi kekosongan hukum, maka dalam Pasal ini tetap
diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
Demikian
pula, apabila terjadi suatu peristiwa atau kasus ketenagakerjaan sebelum
undang-undang ini berlaku dan masih dalam proses penyelesaian pada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka sesuai dengan azas
legalitas, terhadap peristiwa atau kasus ketenagakerjaan tersebut diselesaikan
berdasarkan peraturan pelaksanaan yang ada sebelum ditetapkannya undang-undang
ini.
Pasal 192
Cukup jelas.
Pasal 193
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4279
Catatan:
Dalam pengundangan dilakukan penyederhanaan Ps.159 dari 4 ayat menjadi satu paragraf saja, tanpa ada perubahan maksud. Karenanya, referensi Ps.159 dalam Ps.170-172 menyangkut tindak pidana diubah menjadi ke Ps.158. Rumusan Ps.159 saat disetujui di DPR:
Dalam pengundangan dilakukan penyederhanaan Ps.159 dari 4 ayat menjadi satu paragraf saja, tanpa ada perubahan maksud. Karenanya, referensi Ps.159 dalam Ps.170-172 menyangkut tindak pidana diubah menjadi ke Ps.158. Rumusan Ps.159 saat disetujui di DPR:
Pasal 159
(1) Pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja pekerja/buruh apabila pekerja/buruh melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2).
(2) Apabila pekerja/buruh tidak
menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(3) Pekerja/buruh yang diputus
hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan
pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak seuai ketentuan Pasal
156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur
didalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.